Women, Self-love and Insecurities


Sebagai perempuan, saya pernah tiba di masa kehilangan jati diri dengan kepercayaan diri yang rendah. Ini dibuktikan dengan betapa saya terpedaya dengan standar, yang mirisnya, masih eksis sampai saat ini: perempuan cantik adalah dia yang bertubuh tinggi langsing, berambut lurus dan berkulit putih.
Beberapa tahun yang lalu, saya menyisihkan sebagian gaji saat menjadi reporter demi meluruskan rambut di sebuah salon di Jalan Ciledug Raya, Jakarta Selatan. Saya tak peduli betapa tidak nyamannya proses “demi label cantik” itu. Juga akibat lainnya yang hingga sekarang masih saya rasakan seperti rambut rontok, kering dan sulit diatur. Kalau tanpa vitamin, setiap helainya punya kehendak bebas sehingga terbang ke segala penjuru yang dalam tampilan lengkapnya mereka terlihat sungguh acak-acakan.
Seiring berjalannya waktu, sejak berkembang pesatnya internet dan sosial media, arus informasi mengalir dengan derasnya. Ada beberapa selebgram yang saya ikuti karena suka dengan karya-karya mereka dan ada pula atas rekomendasi teman-teman lain. Dari konten-konten yang mereka bagikan, perlahan-lahan mata saya terbuka akan hakikat kita sebagai manusia. Spesifiknya lagi, hakikat saya sebagai perempuan.
Lewat konten-konten itu, mereka menceritakan saat kehilangan jati diri dengan beragam latar belakang. Ada yang mengubah tampilan diri karena perempuan ideal si lelaki yang dia taksir adalah layaknya finalis Miss Universe. Ada pula yang berubah karena komentar orang-orang di sekitar. Dan yang paling terkait erat dengan kehidupan kita sekarang: dia ingin berubah karena komentar para netizen yang maha benar. Tidak heran mengapa standar ini bertahan: setiap hari kita dijejali dengan iklan produk peninggi, pemutih, pelangsing, pembesar dan seabrak produk yang seolah-olah kalau kita tak cukup sempurna jika tidak tinggi, tidak putih, tidak langsing dan organ-organ vital tidak besar.
Ulasan-ulasan itu berlanjut ke masa-masa di mana rasa percaya diri mereka perlahan luntur dan ragam usaha “menuju kesempurnaan tubuh” yang menguras dompet dan pikiran. Keadaan ini diperparah dengan lidah beberapa orang yang tak dikontrol: “Kok kamu gemukan sih? Makan mulu nih pasti!/ Kok kurus banget sih sekarang? Gak pernah makan, ya?/ Kok jerawatan, sih? Jorok banget jadi cewek!” dan sekian komentar lain yang pada faktanya tanpa alasan kuat karena si komentator ini tak tahu ada apa di balik tubuh-tubuh tak ideal dan wajah yang “bermasalah” ini.
Saya menghubungkan sedikit fase ini dengan apa yang sempat dialami. Saat itu, saya berada dalam sebuah hubungan yang bagi dia, sudah tidak bisa diteruskan lagi. Saya tidak terima karena alasan yang terdengar dibuat-buat. Yang terjadi selanjutnya adalah saya malah menyalahkan diri sendiri. Sejak sempat diopname pada 2015 lalu, berat badan saya betah di angka 38 kilogram. Rata-rata orang yang baru berjumpa selalu berkomentar: Kok kurus banget sih, Nat? Makan dong lima kali sehari./ Jelek tahu kurus gitu. Naikkanlah lima kilogram lagi./ Rapikan dong alismu, Nat. Nampak sangar tahu alis tebal dan bersambung kayak sinetron itu./ Luruskan lagi dong rambutnya biar rapi lagi./ Coba kamu pakai softlense, pasti lebih kece./Pakai behel dong biar gigimu rapi.... dan beribu cuitan lain yang membuat saya menyimpulkan kalau: “Oh, mungkin dia malu jalan sama saya karena saya terlalu kurus, pakai kacamata tebal, alis saya berantakan, rambut saya kusut, badan saya pendek, kulit saya tidak putih dan mulus plus gigi saya tidak rapi.”
Asumsi itu berlanjut ketika di timeline dan explore Instagram bermunculan wajah-wajah selebritis yang cantik, berprestasi, dengan kolom komentar penuh puja-puji kaum adam maupun hawa. Itu membuat saya menyimpulkan kalau para pria hanya tertarik dengan perempuan-perempuan seperti itu. Yang terparah adalah kala saya berpikir andai saja saya secantik Carissa Perusset pasti dia tak akan pernah berpaling.
Di lain sisi, hal-hal kontradiktif mengejutkan saya. Beberapa di antaranya adalah komentar- komentar dari seorang teman: Pengen kurus kayak Mbak deh./ Aku gak mau makan malam, takut melar./ Ya ampun aku gendut banget nih di foto... dan 128.993 komentar lainnya.
Kembali ke lanjutan ulasan-ulasan para selebgram – yang mungkin kalian follow juga seperti @jennyjusuf, @aMrazing dan @meiranastasia (Beliau ini bahkan sudah menulis buku berjudul “Imperfect” yang sebagian “tergerakkan” oleh komentar para netizen tentang bentuk tubuhnya dan kaitannya dengan posisi sebagai istri komedian, sutradara dan aktor terpandang, Ernest Prakasa).
Tulisan-tulisan yang mereka bagikan itu berlanjut pada pertanyaan-pertanyaan:
  • Mengapa saya harus punya badan seperti milik Gal Gadot? Pemeran Wonder Woman itu kan begitu karena tuntutan profesi.
  • Kalau saya menganggap badan segini gemuk dan sesungguhnya tidak ada masalah, bagaimana dengan mereka yang menderita obesitas?
  • Memangnya mengapa kalau kurus banget? Selama ini toh sehat-sehat saja, kan? Bagaimana perasaan anak-anak penderita busung lapar kalau-kalau mereka mendengar keluhan saya ini?
  • Mengapa saya harus mendengar kata-kata mereka? Kan bukan mereka yang membelikan saya makanan atau pakaian.
  • Mengapa saya mau berubah demi membungkam komentar-komentar seperti itu?
Lantas, apa yang kemudian mereka simpulkan?
Pertama, mereka yang terbiasa berkomentar tentang “Kok kurus?”, “Kok gemuk?” dan sebagainya itu, sesungguhnya karena ketidaknyamanan pada diri sendiri atau insecurity. Orang-orang yang insecure cenderung mudah menyerang kelemahan orang lain demi merasa dirinya lebih baik dari kita. Padahal tidak ada manusia yang sempurna. Jadi, sebaiknya kita tak mudah terpancing maupun terganggu dengan jenis yang seperti ini. Dan jangan sampai kita malah menjelma  menjadi seperti mereka. Karena katanya, tak ada yang bisa mengukur kedalaman hati seseorang. Ada yang biasa saja dengan komentar demikian dan bisa saja ada yang tidak terima. Misalkan orang yang dikomentari ini memiliki penyakit imun tertentu yang mana tak memungkinkan baginya untuk menambah berat badan? Maka komentar itu bisa menyinggung perasaannya dan bisa saja memperparah tingkat stres yang sebelumnya diakibatkan oleh kabar akan penyakit yang dideritanya.
Kedua, kita tak mungkin menyenangkan semua orang dan kita hidup memang bukan untuk itu. Dalam ulasan pada program “Be You” di radio Volare, Putri dan Lisa menyampaikan kalau motif kita untuk berubah itu harus tepat. Misalnya kita ingin punya tubuh ideal (ini mengenai keseimbangan antara tinggi dan berat badan. Ada rumusnya, silakan google.). Nah, tujuan yang tepat itu contohnya: supaya pakaian-pakaian saya tetap bisa muat, saya menjadi lebih sehat dan bugar karena demi tubuh ideal itu saya melakukan olahraga yang teratur dan mengonsumsi makanan dan minuman yang sehat, bukan dengan tidak makan sama sekali yang pada akhirnya hanya menimbulkan masalah lain seperti gastritis kronis. Kemudian, kalau melakukan perawatan diri itu karena saya sayang dengan tubuh yang sudah diciptakan oleh Dia dan menghargai orang di sekitar. Contohnya: saya merawat wajah dengan rajin mencuci muka dan menggunakan skincare karena ingin kulit muka saya bersih. Saya rajin mandi, pakai deodorant dan ganti baju karena saya ingin diri sendiri serta orang di sekililing merasa nyaman alias tidak terpapar polusi udara.
Hal penting lainnya yang saya tangkap dari ulasan “Be You” adalah ubahlah apa yang bisa kita ubah. “Bisa” di sini adalah mutlak berdasarkan kodrat kita sebagai manusia. Berubah tepatnya seperti yang sudah saya bahas tadi. Bukan mengubah bentuk hidung, pinggul, rambut dan semacamnya dengan alat-alat yang sekiranya menyiksa kita. Yang artinya bila ini terjadi, tidak ada self-love yang kita punya. Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, ketika saya kehilangan jati diri: saya tidak punya self-love. Saya tidak mencintai diri saya sendiri.
Dalam sebuah esai yang Taylor Swift tulis untuk Elle US, dia juga mengulas tentang bagaimana dia berusaha begitu keras demi menerima tubuhnya (apa adanya) setiap hari. Jadi, yang namanya menerima diri itu bukan pekerjaan gampang. Belum lagi beredarnya artikel-artikel yang membahas dirinya sempat sangat kurus dan dia diasumsikan hamil. (Padahal jika pun iya, itu sama sekali bukan urusan mereka.) Apalagi dengan status sebagai seorang entertainer yang (berdasarkan informasi dari Margareth Siagian) mereka akan terlihat lima kilogram lebih gemuk dalam kamera atau video. Padahal bila bertemu langsung, seorang artis yang terlihat sedikit berisi di tivi, tubuh mereka sudah sangat ideal jika dihitung rata-ratanya.
Jadi, yang ingin saya sampaikan lewat tulisan ini adalah:
Pertama, mari kita mulai menerima diri sendiri apa adanya. Mulai dengan mencintai diri sendiri lebih dulu. Jika ada yang tak bisa menerimamu karena wajah atau bentuk tubuhmu, berarti dia bukan untukmu.
Kedua, jangan menerima seseorang hanya karena secara fisik, dia sesusai dengan yang kita dambakan. Mengapa? Karena hidup itu singkat dan kecantikan/ketampanan itu tak abadi. Dengan begitu, jika alasan itu yang kaugunakan, dia akan dengan mudah kaulepaskan seiring menghilangnya kecantikan/ketampanannya.
Ketiga, jangan pedulikan komentar orang tentang bentuk tubuh kita. Mengapa? Karena itu bukan urusan mereka. Kebanyakan yang bertanya begitu bukannya peduli. Kalau tidak basa-basi ya mau tahu saja. Atau yang terparah seperti yang sudah saya sampaikan tadi: ketidaknyamanan diri sehingga menyerang orang lain untuk mengetahui kalau mereka lebih baik. Sekali lagi, tidak perlu menciptakan asumsi-asumsi yang sempat saya lakukan karena komentar orang. Itu hanya akan berakhir dengan fokusnya kita pada kekurangan dan melupakan kelebihan-kelebihan yang mestinya dikembangkan semaksimal mungkin.
Keempat, jangan berkomentar tentang bentuk tubuh orang lain. Sejak di sekolah dasar, atau mungkin sejak di rumah, kita sudah diajarkan untuk menghargai perasaan orang lain alias bertenggang rasa. Masih banyak bahan basa-basi yang lain juga kan. Dan lagi, sebagai warga Indonesia yang orang-orangnya beragam, betapa kejamnya kita bila hanya menggunakan standar sendiri tentang bentuk tubuh, hidung dan rambut, warna kulit dan semacamnya. Kamu pikir mengapa Tuhan menciptakan makhluk-Nya berbeda-beda? Tentu saja bukan supaya kita menjadi diskriminatif, rasis atau intoleran. Tonton deh “Green Book”, itu keren sekaligus miris sekali betapa diskriminatifnya beberapa tokoh dalam film yang memenangkan tiga kategori Oscars itu.
Ada yang bilang, pada akhirnya orang tidak akan melihat siapa kamu, tetapi apa yang kamu perbuat. Sebab, jika kita cuma fokus pada mempercantik tubuh dan lupa untuk mempercantik hati, maka semuanya akan sia-sia saja. Sebab hidup ini teramat singkat jika hanya dihabiskan untuk meratapi kekurangan diri. Bukankah lebih baik memanfaatkan “kecantikan” yang kita punya agar hidup ini lebih berarti?
Well, sekian uneg-uneg saya yang awalnya hendak disampaikan lewat caption di Instagram saja. Semoga bermanfaat bagi siapapun perempuan hebat yang membaca ini. Ingatlah bahwa setiap individu itu unik dan diciptakan dengan tujuan yang perlahan akan kita temui bila berani untuk mulai menggali potensi diri dan meningkatkannya semaksimal mungkin. 

 Last but not least, Happy International Women's Day!

Love,

Natalia Desi Moro

Pontianak, 8 Maret 2019



Comments

Popular posts from this blog

DEKADE

Temukan Cinta dari Hijaunya Alam Kita