The Ruin


 
Semestinya aku sudah menjelma abu sejak dulu
Ketika kukenakan busana serupa rumah tanpa lampu
dan kuketuk pintu-pintu kamar pada jam sembilan malam
Lalu kupatahkan hati mereka satu demi satu

Sekarang aku malah menyerupa lubang jalan yang menjegal langkah buru-buru
Tak layak mengelap piala-piala patah, berharap menjadikannya hiasan
Apalagi mengiba potret terpampang di dinding ruang tamu

Masa kejayaan sudah tinggal cerita dalam buku tulisan murah
yang hanya kepadanya sanggup 'ku berbagi tentang segala resah dan hanya di situ saja kugoreskan impian dengan bahasa sandi yang tak dapat kusuarakan
Sebab keadaan telah menjadi tuhan, yang memahkotai diri dan berlenggok mengumbar keindahan yang tak diakui siapapun selain ilusi
dan dalam waktu yang lebih rapat dari detik, diharuskannya kusetor upeti
yang tak sanggup kubayar dengan darah sendiri

Rupanya mereka yang kerap menerka massa tanpa dacing tak selalu salah taksir
Ya, haruslah aku menjadi yang terusir
Sebab telah menjadi segala sebab, pun tiada libat
Karena piala bernama karma ialah yang layak kuterima

Dan cukupkah itu?
Tidak. Katanya kata-kata yang entah apa ini tak patut kubagikan
Lagi-lagi mereka menang debat dalam diam
"Untuk apa coretan-coretan kalau pangan pun tak sanggup ia bayarkan?
Lihat pula sandangmu yang buram dan penuh lobang? Tak lagikah kausimpan barang segulung benang? Atau jarum berkarat pun sudah kaugadaikan?
Sudah kubilang, impian tak selalu menjadi tongkat sihir penyelesai persoalan di waktu sekarang yang kerap kaulupakan!
Enyahlah! Dan jangan mengiba damai pun dalam mimpi-mimpi malam!"


Pontianak, 10 Maret 2017, pukul 9.45 WIB

Comments

Popular posts from this blog

DEKADE

Temukan Cinta dari Hijaunya Alam Kita