Posts

Showing posts from 2013

Empati?

Tergelitik dengan pernyataan Ayah Angkat dari Almarhum Uje di infotaiment tadi siang. Tentang membludaknya peziahan di makam Almarhum Uje. "Ini sebuah kritik sosial bagi kita semua. Di mana sesama lebih memilih curhat kepada orang yang 'telah tiada'. Betapa empati dari kita sudah tak ada lagi," kira-kira begitu ungkapan beliau. Lantas pas nyuci tadi saya (sok) merenung. Benarkah kita ter lalu sibuk dengan diri sendiri? Merasa masalah kita paling pelik dari orang lain.

Kudet?

"Apa ceritamu?" Sebuah pertanyaan yang menurut saya oke dalam sebuah pembicaraan. Terkesan dianggap ada, dinantikan dan dihargai. Namun seringkali menemukan: si A bercerita bla-bla-bla. Ada yang menanggapi, adapula yang melongo sampai malah menguap. Lantas reaksi si A? "Yang ini lho, masa' itu aja nggak tahu. Kudet banget, ih." dst. Why? Hipotesis saya (ciaelah): ini soal minat. T idak semua orang tertarik akan suatu hal yang kita gemari. Orang-orang yang terkesan "tidak nyambung" belum tentu dia kurang up to date.

Tawas dan Pawang Lidah

Apa yang kau tahu? Menamai Nama, memprakarsai atas deskripsi indra; pun pastikah indra semurni nurani? Apa yang kau pahami? Hasil menelisik, mengusik ... Lantas memberisiki sunyi. Serupa perang dan 'ku enggan menyerbu. Meski berkecak pinggang menantang, sebisanya kau kuusir pulang; sebelum parang-parang kita berciuman. Apa yang kau petik, Atas sikap yang kutunjukkan?  Demi damai ini kutitipkan cenderamata : tawas dan pawang lidah untuk pikir dan ucapmu. Kawan.

Cermin-cermin

Cermin,  kubecermin pada wajahmu, wajahnya, wajah mereka  Tidak, kita tak serupa  Cermin, kembali kubecermin  Pada wajah bumi, wajah langit, wajah angin, wajah air, wajah api  Hanya terpantul bayang hitam, bayang bening-bergoyang, bayang besar-memanjang  Cermin, cerminku berganti-ganti  yang kutemui bayang duduk aku berdiri, bayang diam aku menari  Cermin, lantas kubecermin pada kitab suci  mungkin bukan bagian dari cermin-cermin lalu  ciptaan sepertiku cuma satu  laksana Adam dibentuk dari tanah  Lantas ragaku dari nanah?  Menilik surga-neraka mencibir  Dari segenap semesta aku terusir  Cermin, cerminku hati  :Tuhan berbisik  Oh, masihkah kumiliki?  Lalu Setan menghadiahi belati  :aku bergidik  Belati untuk membelah hati!  Agar raga mati  kubecermin pada belati dan aku adalah mati  Serupa kami, membingkai bumi 

Malaikat Kecil

Aku tidak bisa berhitung. Tapi, entah berapa waktu yang lalu aku adalah pemenang. Setelah berenang bersama milyaran makhluk sejenisku. Hanya satu. Tidak dua apalagi sepuluh. Sungguh keajaiban yang amat sangat bisa menjadi yang terpilih. 'Lomba renang' di sepanjang lorong merah muda dan lunak itu pun berakhir. Dan entah apa yang terjadi, aku menembus dinding lunak. Ekorku putus. Lalu aku sendiri dalam ruang baru. Tak kutahu lagi nasib milyaran 'pesaingku'. Mungkin hidup mereka sudah berakhir. Beberapa waktu berlalu. Tubuhku menggelinding. Semacam dioper oleh tangan lembut satu ke yang lainnya. Terus aku digelindingkan di sepanjang lorong silinder yang sedikit berbuku-buku dan berkelok itu. Aku tak tahu perjalanan ini berlangsung sampai kapan. Namun, pertanyaanku mulai terjawab. Bermula ketika aku bersua dengan makhluk-entah-a­pa. Ternyata aku tak sendiri!