Mengapa Saya Harus Menikah?
Pertanyaan ini akan mengandung dua makna bila dibaca dengan nada berbeda.
Keduanyalah yang ingin saya ulas sekarang.
“Mengapa saya harus menikah?” yang pertama adalah pertanyaan untuk
alasan-alasan seseorang memilih membangun sebuah keluarga. Sementara yang kedua
adalah pertanyaan untuk alasan-alasan mengapa seolah-olah menikah itu harus.
Saya yakin, pertanyaan pertama lebih mudah ditemukan jawaban-jawabannya,
karena yang indah-indah memang lebih mudah dibayangkan. Menikah memang mulia
dan bagi sebagian orang sebagai tolok ukur kebahagiaan. Tidak ada yang salah
dengan menikah. Yang jadi salah adalah ketika kita menganggap orang lain yang
tidak menjalani hal mulia itu sebagai seorang yang gagal. Ada pula anggapan
seolah-olah tidak menikah adalah aib. Mengapa? Mengapa pernikahan terdengar
sebagai sesuatu yang wajib bagi semua orang?
Sebagai seorang wanita yang sudah memasuki “usia matang”, pertanyaan “kapan
menikah” dan “mengapa belum menikah” sudah tak terhitung menghampiri. Bahkan
ada seorang pria yang secara terang-terangan mengatai saya perawan tua di
kampung ketika saya (baru) memasuki usia 22 tahun. Dulu saya sempat merasa
terganggu dan mulai mengkhawatirkan kehadiran seorang pendamping hidup yang
bukannya terlihat, tetapi malah menjelma sebuah misteri.
Seiring berjalannya waktu, pandangan saya perlahan berubah setelah menyimak
TED Talks maupun TEDx Talks, Instagram Stories yang dibagikan @jennyjusuf (penulis
skenario Filosofi Kopi, NKCTHI, Mantan Manten, Surat dari Praha; Peraih Piala
Citra untuk Penulis Skenario Adaptasi Terbaik), @inezkristanti (psikolog
dan dosen di sebuah universitas di Jakarta), Andrea Gunawan a.k.a
@catwomanizer (Sexual Health Activist, Image Consultant dan Dating Coach)
dan beberapa akun lain yang pernah mengulas hal-hal berkaitan tetapi hanya
sesekali.
Dan, belakangan ini ada satu bit dari seorang komika Pontianak yang menggerakkan saya untuk
mengembangkan draft tulisan ini. Dalam penampilannya saat
melakukan showcase bertajuk “Tanah SUCI” yang bertempat di
kafe Ampas Kapulus pada Jumat malam, 6 Maret 2020 lalu, Bang Tommy Utama Putra
mengatakan, “Mengapa saat orang menikah, ucapannya itu ‘Selamat Menikah dan
semoga berbahagia’? Karena menikah bukan jaminan kamu pasti bahagia, makanya
masih disemogakan alias didoakan. Jadi, kalau ada yang sudah menikah lalu
bertanya ‘Kapan nyusul?’, santai saja. Maksud dari ‘Kapan nyusul?’ itu bisa
saja ‘Kapan nyusul merasakan pahitnya hidup pernikahan?’.” Hal ini
mengingatkan saya kembali pada pria yang mengatakan saya sebagai perawan tua
satu-satunya di kampung, kala saya berusia 22; kami masih beberapa kali bersua
dan dia sudah menikah juga memiliki seorang putera. Yang berbeda adalah sejauh
ini dia hanya menegur seadanya. Pertanyaan ‘Kapan nyusul?’ itu tak lagi muncul.
Akan tetapi, saya enggan mau tahu perasaannya setelah mengalami sendiri
kehidupan pernikah itu.
Jadi, poin pertama yang ingin saya sampaikan adalah dari waktu ke waktu
selalu ada orang-orang yang menggunakan standarnya sendiri untuk mengukur
pencapaian orang lain. Seperti halnya menikah. Seolah-olah menikah adalah
ukuran pencapaian tertinggi seorang manusia. Sementara orang-orang yang belum,
tidak ataupun tidak ingin menikah dianggap gagal dalam kehidupan.
Kedua, menikah bukan jaminan kebahagiaan. Kita tidak bisa menutup mata dari
fakta jumlah perceraian yang terjadi selama ini. Yang artinya begitu banyak
pasangan yang ternyata tidak menemukan kebahagiaan kala sudah menikah. Tidak
menutup kemungkinan jika pasangan-pasangan yang tidak memilih berpisah juga
mengalami ketidakbahagiaan itu. Dan, alasan bertahan adalah karena anak-anak,
enggan digunjingkan atau tidak ingin membuat orangtua sedih dan malu. Maksud
dari poin yang satu ini tidaklah berarti saya menakut-nakuti siapapun, karena
jumlah pasangan yang berbahagia dengan pernikahannya hingga maut memisahkan
juga tak terhitung banyaknya.
Ketiga, seseorang belum menikah bukan berarti dia tidak laku. Karena saya,
kamu maupun mereka bukanlah barang dagangan. Kita lebih berharga dari itu. Saya
rasa, poin yang satu ini sudah sering digaungkan oleh banyak orang.
Keempat, setiap orang punya prioritas tertinggi yang ingin dicapai. Bisa
saja, dia yang memilih hidup sendiri menemukan kebahagiaan yang lebih kala bisa
menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan mendedikasikan diri untuk kemajuan
banyak orang.
Kelima, menikah bukanlah perlombaan. Dia yang bertemu jodoh lebih dulu
bukanlah pemenang dan dia yang belum atau tidak menikah bukanlah kalah dalam
persaingan hidup. Sama halnya dengan kesuksesan. Seperti yang Jay Shetty
katakan: Everyone has a different clock. Wait for your time.
Keenam, menikahlah bila sudah siap dan memang ingin. Bukan karena tuntutan
masyarakat, paksaan keluarga, keengganan dicemooh atau desakan pasangan. Satu
lagu yang menurut saya bagus untuk direnungkan sebelum memutuskan melamar
seseorang atau saat dilamar berjudul “Love Me Again” dari Katlyn Tarver. Inti
dari lagunya: Yakinkah nanti bisa bertahan kala berhadapan dengan
pasangan yang tengah dilanda kemarahan besar? Mampukah memberikan jarak kala
dia ingin sendiri beberapa saat? Karena akan selalu ada pertentangan dan air
mata dalam sebuah hubungan. Ini menandakan kalau kesiapan bukan hanya
secara finansial, tetapi juga mental dan beberapa kesiapan lainnya, seperti:
- Siapkah untuk berbagi apapun?
- Siapkah untuk menerima baik-buruk pasangan, yang
katanya belum terlihat saat masih pacaran?
- Siapkah untuk menjadi orangtua yang baik kelak?
- Siapkah untuk mengontrol diri (kemarahan,
keegoisan, kekecewaan, dll) sekuat tenaga saat menghadapi kenyataan yang
tidak sesuai, misalnya: bangkrut, kehilangan dan dampak dari semua itu?
- Siapkah untuk mengorbankan impian-impian demi
keluarga?
Ketujuh, menikah tidak cukup karena saling mencintai saja. Seorang
pembicara TEDx Talks memilih meninggalkan kekasih yang sudah bersamanya selama
dua belas tahun dan tentu sangat dia cintai. Dia memilih berpisah karena pria
ini “tipe peterpan”, yang artinya tidak ingin bertumbuh, menjadi seorang suami
dan memiliki anak. Intinya, saat kekasihnya menyinggung soal pernikahan, dia
selalu mengelak dengan bilang “not yet”. Kisah lainnya ada dalam film “Marriage
Story” di mana pasangan Nicole (Scarlett Johanson) dan Charlie (Adam Driver)
memilih untuk berpisah. Salah satu kutipan dari tulisan Nicole yang saya ingat
adalah “I’ll never stop loving you eventhough it doesn’t make sense anymore.”
Kedelapan, selalu ada alasan di balik keputusan seseorang belum bisa atau tidak
ingin berkomitmen. Misalnya trauma masa lalu. Entahkah ia pernah mendapat
perlakuan tidak baik dari keluarga atau pasangan, berasal dari keluarga
yang broken home atau mungkin sempat dalam hubungan toxic yang
merugikan fisik dan mengganggu kejiwaannya. Alasan lain adalah keadaan fisik
yang belum tentu bisa diterima oleh pasangannya kelak, misalnya seorang
perempuan yang terkena kanker rahim. Kondisi ini membuatnya terpaksa harus
merelakan rahimnya diangkat demi keselamatan jiwa. Konsekuensinya adalah dia
tidak akan bisa memiliki keturunan.
Well, saya
rasa delapan poin dulu yang perlu saya ulas saat ini. Tentu masih banyak
poin-poin penting lain yang bisa dijabarkan.
Inti dari semua ini adalah perspektif. Bagaimana sebaiknya kita memandang
sesuatu dan mengambil sikap. Semua orang boleh berprinsip, tetapi tidak berarti
harus memaksakan prinsipnya pada orang lain. Kita tidak selalu bisa menggunakan
tolok ukur kita untuk menilai seberapa sukses ataupun gagal, baik maupun buruk
sesama dengan ukuran pribadi. Sesekali kita perlu memandang dunia dengan
kacamata mereka. Oleh karena itu saya terbuka dengan para pembaca yang
tidak sependapat dengan saya. (Silakan disampaikan, disertai alasan-alasan
pendukung yang masuk akal.)
Seperti biasanya, saya cenderung menulis untuk mengingatkan diri saya
sendiri dengan tujuan beragam. Saya ingin lebih berempati dan toleran terhadap
keputusan-keputusan orang lain. Saya mau belajar bertenggang rasa dengan
mempertimbangkan dulu apakah sebuah pertanyaan sensitif layak dilayangkan pada
seseorang.
Di samping itu saya sendiri belajar untuk memahami orang-orang yang
bicaranya masih asal: mungkin mereka berniat bercanda atau sekedar berbasa-basi
karena tak menemukan topik lain untuk dibicarakan.
Karena mereka bilang, kita tidak bisa mengontrol orang-orang mau bilang
apa. Yang bisa dikontrol adalah diri kita sendiri: perasaan dan sikap apa yang
mau diambil kala menemukan hal-hal yang tidak menyenangkan.
Kembali ke soal menikah, pertanyaan yang sering saya dengar dari akun-akun
keren tadi adalah: Have you loved yourself well, before deciding to
love someone for the rest of yourlife? Karena jika kita mencintai seseorang
seratus persen dan lupa untuk mencintai diri sendiri, tak akan ada yang tersisa
kala seseorang yang kita cintai memilih pergi.
Sekian tulisan kali ini. Semoga dapat dipetik pesan-pesan baiknya dan
abaikan hal-hal yang tidak sesuai.
Love,
Nat.
Pontianak, 8 Maret 2020
Comments
Post a Comment